Motivasi belajar anak imigran terasa lebih tinggi daripada anak lain sebayanya yang justru merupakan penduduk asli dari daerah tersebut. Krisis akibat banyaknya kejadian pengungsian membuat sejumlah sekolah di negara maju mesti menyiapkan diri menghadapi lonjakan pendaftaran siswa baru.
Namun berbeda lagi pendapat dari Andreas Schleicher selaku Direktur Pembangunan Pendidikan Seluruh Eropa atau OECD ketika menghadapi sesi wawancara. Beliau berujar bahwasanya anak – anak dari keluarga imigran memiliki sisi kompetensi di atas rata – rata sehingga justru situasi ini bagus bagi reputasi sekolah.
Berdasarkan uji penelitian, para pendatang cilik ini memiliki motivasi belajar bertaraf tinggi berkenaan dengan pengaruh orangtua. Ayah dan ibunya cenderung suka bermain situs slot serta punya sifat ambisius karena mereka beradaptasi dengan status barunya sebagai perantau di negeri asing jauh dari kampung halamannya.
Imigran mungil nan lucu tersebut terbukti lebih aktif bertanya pada jam pelajaran akibat dorongan dalam dirinya yang menuntut asupan ilmu pengetahuan. Kemampuan observasi mereka pun cenderung tajam dan tepat sasaran sehingga terkadang kita lupa bahwa ia masih seorang bocah ingusan yang bahkan belum akil balik.
Permulaan semuanya adalah ketika pada 1954 negara adidaya Amerika Serikat memutuskan melonggarkan daerah perbatasan untuk menyambut warga Suriah. Puluhan tahun kemudian, AS kebanjiran duren runtuh manakala salah satu anak imigran Suriah tersebut tumbuh menjadi salah satu raksasa perekonomian negara.
Motivasi Belajar Anak Imigran Berkontribusi Pada Masa Depan Negara
Apabila anda penasaran, kami akan membuka sekarang juga bahwa sosok anak imigran Suriah tersebut bernama almarhum Steve Jobs. Siapa sangka, keputusan pemerintah AS separuh abad lalu yang kelihatannya sepele ternyata berbuah manis dengan balasan berupa produk elektronik Apple yang mendunia.
Para imigran kecil mungkin saja terhambat oleh sejumlah problematika terkait benturan kebudayaan, sosialisasi, hingga perbedaan taraf ekonomi. Kembali kepada survei membuktikan, ternyata kekhawatiran orang dewasa hampir tidak pernah terjadi karena fakta data di lapangan menunjukkan hasil memuaskan.
Ketika hasil raport dibagikan pada masa kenaikan kelas, jelas sekali bahwa anak imigran memiliki prestasi setara dengan anak dari penduduk asli. Dengan kata lain, mereka justru jauh lebih tahan banting karena dapat menorehkan keberhasilan sembari mengatasi beragam masalah yang hendak mengganggu proses akademisi.
Keadaan serupa terjadi bahkan ketika kita keluar dari wilayah Amerika Serikat sebagai mercusuar program imigran ini sekalipun. Hampir sepertiga dari total tiga puluh tujuh negara Eropa mencatat bahwa pelajar imigran meninggalkan siswa lain sepuluh level ke atas.
Motivasi belajar anak imigran datang dari kerasnya kehidupan semenjak ia masih balita karena tersandung nasib kurang beruntung setiap harinya. Faktor kemiskinan menghantui senantiasa sehingga mereka terdorong untuk menemukan solusi secepat mungkin sebelum habis tertelan jurang gelap tiada akhir.
Himpitan Ekonomi dan Status Minoritas Menguatkan Daya Juang Mereka
Kebanyakan pelajar imigran perlu mengorbankan begitu banyak hal dalam seluruh aspek kehidupannya hanya demi menerima pendidikan berkualitas. Ketika berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi, maka ia tidak akan menyia – nyiakan kesempatan emas untuk mengubah nasib keluarganya secara keseluruhan.
Motivasi belajar anak imigran jauh lebih realistis karena mereka menyadari bahaya toxic positivity sedari usia dini hasil didikan orang tuanya. Ketika beranjak remaja, balita imigran jauh lebih siap menghadapi berbagai tantangan seputar kerasnya kehidupan menghampiri termasuk pada urusan mengenyam bangku sekolah.
Dari sisi kegigihan pun murid imigran ini patut mendapat acungan jempol karena tidak mudah menyerah dan selalu berusaha memperjuangkan solusi. Para dosen mengakui bahwa mahasiswa imigran lebih termotivasi memecahkan persoalan rumit dan memiliki tingkat kesulitan tinggi daripada siswa umumnya.
Lembaga OECD meneliti fenomena unik ini selama puluhan tahun dan mendapatkan hasil cukup mengejutkan sekaligus memuaskan bersamaan. Hampir seluruh anggota keluarga mulai dari ayah, ibu, saudara, hingga dirinya sendiri cenderung memiliki kemauan kuat untuk keluar sebagai pemenang sehingga seringkali mereka meninggalkan kompetitornya jauh di belakang.
Menariknya, golongan imigran ini sebagian besar berasal dari kaum miskin dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bahkan sekedar untuk makan. Sementara itu, penduduk asli yang memiliki masalah finansial serupa tidak mempunyai api semangat sebesar para imigran dalam keinginannya mengubah nasib.